Rabu, 14 Desember 2011

Rabu, 23 Februari 2011

Niti sastra

Kewajiban generasi muda adalah melestarikan warisan dari para pendahulunya, warisan Ilmu dan budaya yang bermanfaat bagi kehidupan ini. Negeri Eropah, Cina, India, Jepang adalah negara-negara yang sangat menghormati pendahulunya, mereka rajin mendokumentasikan pernik-pernik ilmu dan budaya sehingga bisa diwarisi hingga kini.
Dalam bidang manajemen, negeri kita cukup kaya dengan warisan ajaran-ajaran mulia tentang kepemimpinan. Tidak heran bila negeri ini ratusan tahun silam disegani di manca negara sebagai negara yang kuat, negara besar, negara yang maju peradabannya.
Berbicara mengenai kempemimpinan/leadership kita tidak lepas dari dua kata kapabilitas (kemampuan) dan akseptabilitas (diterima). Pada dasarnya hanya ada dua pilihan bila kita hidup dalam suatu perkumpulan, yakni sebagai Pemimpin atau sebagai yang dipimpin yang lazim di sebut anggota. Sebagai anggota yang baik, kita harus memiliki loyalitas, patuh dan taat pada perintah atasan sebagai pemimpin dan rela berkorban serta bekerja keras untuk mendukung atasan dalam pencapaian tujuan yang dalam ajaran agama Hindu, disebut Satya Bela Bhakti Prabhu.
Sedangkan sebagai pemimpin, harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin (kapabilitas) serta dapat diterima oleh yang dipimpin ataupun atasannya (akseptabel).
Kemampuan dalam arti mampu memimpin, mampu mengorbankan diri demi tujuan yang ingin dicapai, baik korban waktu, tenaga, materi dll serta dapat diterima, dalam arti dapat dipercaya oleh anggota masyarakatnya dan pejabat yang di atasnya.
Untuk suksesnya pencapaian tujuan suatu perkumpulan, sangat tergantung dari proses kerjasama dan rasa saling membutuhkan antara anggota dengan pemimpinnya.Didalam Kitab Niti Sastra Bab I sloka 10, hubungan erat antara pemimpin dan anggota diibaratkan seperti hubungan Singa dengan hutan, sebagai berikut :
“Singa adalah penjaga hutan. Hutan pun selalu melindungi Singa, Singa dan hutan harus selalu saling melindungi dan bekerjasama. Bila tidak atau berselisih, maka hutan akan hancur dirusak manusia, pohon-pohonnya akan habis dan gundul ditebang, hal ini membuat singa kehilangan tempat bersembunyi, sehingga ia bermukim dijurang atau dilapangan yang akhirnya musnah diburu dan diserang manusia.”
Hubungan kerja sama yang saling membutuhkan ibaratnya “Singa dengan Hutan” perlu diterapkan oleh pemimpin dan masyarakatnya, sehingga dapat sukses dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tidak ada pemimpin yang sukses tanpa didukung masyarakatnya, demikian sebaliknya.
Kriteria kepemimpinan menurut Pustaka Niti Sastra :
  1. Abhikamika
    Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi ke bawah dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak dari pada kepentingan pribadi atau golongannya.
  2. Prajna
    Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana dan menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama serta dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya.
  3. Utsaha
    Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat.
  4. Atma Sampad
    Pemimpin mempunyai kepribadian : berintegritas tinggi, moral yang luhur serta obyektif dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan demi kemajuan bangsanya.
  5. Sakya Samanta
    Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan (efektif, efisien dan ekonomis) dan berani menindak secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih/tegas.
  6. Aksudra Pari Sakta
    Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan dan pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan dan rakyatnya.
Saat ini negeri kita mangalami krisis para pemimpin sejati, yang bener-benar memimpin menggunakan logika dan hati, menggunakan keahliannya memimpin guna mewujudkan tujuan bersama yaitu kemakmuran dan sejahteraan bersama.
Mudah-mudahan dengan semakin tingginya perkembangan teknologi yang memudahkan kita dan generasi muda untuk mengakses segala informasi dan ilmu, bisa dimanfatkan untuk menghasilkan para pemimpin sejati. Belajar dari sejarah, menghargai warisan leluhur untuk terus mengembangkan ilmu dan kebudayaan pada tataran yang mumpuni sehingga senantiasa disegani oleh setiap pendatang dan setiap bangsa maupun negara di dunia ini maupun di dunia lain.

Jumat, 11 Februari 2011

bedug baduda: Apa Pandangan Hindu tentang Valentine Day

bedug baduda: Apa Pandangan Hindu tentang Valentine Day

Apa Pandangan Hindu tentang Valentine Day


Sebenarnya mengikuti perkembangan zaman tidak salah asal tetap berpijak pada jati diri sebagai orang Timur dan selaku umat beragama yang sangat menjungjung tinggi moralitas. Tak kecuali turut merayakan Valentine Day (hari kasih sayang) bersama kawula muda dunia lainnya. Bagi agama Hindu masalahnya bukan dari mana, produk budaya apa suatu perayaan itu, melainkan lebih melihat pada nilai apa yang didapat dari peringatan itu. Kalau ternyata dalam praktek perayaan hari kasih sayang itu lebih dominan menampilkan sisi hura-hura, pelampiasan kasih sayang ragawi (nafsu birahi) yang bahkan oleh suatu media disebut sebagai hari “penyerahan perawan” jelas dengan tegas bahkan keras ditolak.

Hari apapun yang hendak diperingati atau dirayakan haruslah lebih menekankan pada esensi nilai bukan kemasan seremoninya. Dan lagi pula kalau memang kita sudah mulai menghayati apa sesungguhnya arti “kasih sayang/cinta kasih” itu maka tanpa menunggu datangnya tanggal 14 Februari pun yang namanya rasa kasih sayang atau cinta kasih dapat direalisasikan ke dalam bentuk perbuatan angawe sukanikanang won glen. Mulai dari mangasihi, menyayangi, dan mencintai diri sendiri, orang tua, saudara sampai kepada Bhatara-Bhatari dan memuncak pada Hyang Widhi.

Dalam ajaran Hindu sendiri apa yang disebut dengan cinta kasih tidak lain merupakan konsep bhakti. Bhakti itu artinya luapan perasaan cinta kasih atau kasih sayang yang dilandasi kebersihan pikiran, kesucian hati dan ketulus iklasan yang tanpa pamrih. Bhakti itu dapat ditujukan kepada orang tau dengan hormat dan patuh padanya. Kepada saudara dengan menghargainya, kepada teman dengan kesetia kawanan dan kepada Bhatara-Bhatari serta Hyang Widhi melalui media persembahan dan atau persembahyangan. Kesemua wujud bhakti tersebut merupakan realisasi dari kasih sayang/cinta kasih yang hakiki. Dan itu bisa dilakukan setiap hari, kapan saja dan dimanapun berada.

Jadi bila ditanyakan relevansi Valentine Day menurut Hindu memang memiliki nilai esensi yang sama dengan ajaran bhakti. Tetapi yang membedakannya sebagaimana sudah menggejala adalah prakteknya yang sudah mulai menyimpang. Tidak lagi menekankan pada sisi keagungan arti sebuah cinta/kasih sayang itu melainkan sudah mengikuti trend budaya barat yang lebih menampilkan sisi cinta sebagai dorongan nafsu ragawi. Maka tak heran Valentine Day banyak diisi dengan acara hura-hura bahkan seperti disinyalir media ibukota sudah mengarah pada praktek seks bebas sampai dengan penyerahan perawan. Jika sudah sampai sejauh itu, tentu bahasa agama hanya bisa mengingatkan kawula muda Hindu untuk kembali pada konsep bhakti yang lebih bernilai luhur dan berphahala kemuliaan dari pada sekedar mengikuti trend Valentine Day yang belum tentu berguna dan sesuai dengan budaya Hindu.

bedug baduda: MENUMBUHKAN CINTA KASIH DAN KASIH SAYANG SEBAGAI NAFAS KEHIDUPAN UNTUK MERAIH KEDAMAIAN

bedug baduda: MENUMBUHKAN CINTA KASIH DAN KASIH SAYANG SEBAGAI NAFAS KEHIDUPAN UNTUK MERAIH KEDAMAIAN

MENUMBUHKAN CINTA KASIH DAN KASIH SAYANG SEBAGAI NAFAS KEHIDUPAN UNTUK MERAIH KEDAMAIAN

Om Swastyastu

Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi disamping telah mampu melahirkan dampak-dampak positif dan juga dampak-dampak yang negatif serta mampu merubah pola pikir dan tatanan kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial.

Jika pada zaman sebelumnya wawasan pemikiran masih bersifat tradisional (daerahisme) yang mengedepankan etika dan kebersamaan, maka pada kurun waktu belakangan ini hasil-hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan technologi telah mampu mendorong seseorang untuk berpikir secara praktis,efisien dan menyenangkan serta dengan wawasan seluas-luasnya namun terkadang terlupakan etika dan kebersamaan sehingga yang nampak adalah Kecerdasan Intelegensi (IQ) tetapi Kecerdasan Emosional (EQ) atau kecerdasan sosial dan Kecerdasan Sepiritual (SQ) semakin menipis sehingga hasil proses yang kita impikan yaitu shanti (kedamaian) sangat sulit untuk diwujudkan, karena kita tidak pernah sadar bahwa sesungguhnya semua yang kita lihat adalah wujud cosmis Brahman (Vishva Viraat Svaruupa). Dari permasalahan tersebut maka tulisan ini diberi judul “ Menumbuhkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang sebagai nafas kehidupan untuk meraih Kedamaian”.
Dari masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan untuk memudahkan dalam penulisan tersebut adalah sebagai berikut :
Bagaimana Hindu memandang tentang konsep cinta kasih dan kasih sayang?
Kapan cinta kasih dan kasih sayang itu akan lahir dan bagaimana jika hal tersebut dikorelasikan dengan fenomena (kejadian) saat ini ?
Benarkah cinta kasih dan kasih sayang sebagai nafas kehidupan untuk menggapai impian kita bersama yaitu kedamaian ?
Dari rumusan tersebut di atas diharapkan kita mampu merumuskan dan menjadi duta-duta dalam penyampaian bahan-bahan pembinaan guna tercapainya misi hakekat proses kehidupan ini yaitu kedamaian baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat pada umumnya.

Menumbuhkan cinta kasih dan kasih sayang sebagai nafas kehidupan untuk meraih kedamaian
Secara etimologi, dalam kamus bahasa Indonesia “Cinta” mempunyai arti sayang benar, suka sekali dan rindu. Sedangkan “Kasih” adalah perasaan sayang, perasaan iba. Bagaimana Hindu memandang tentang konsep Cinta kasih dan Kasih sayang ? Dalam bahasa Sanskerta Cinta adalah berasal dari urat akar kata Snih, dalam konteks ini cinta bukan harus dimiliki melainkan apa yang sudah ada patut dipelihara. Sedangkan menurut cendikiawan Hindu abad ke 19 Yaitu Svami Vivekanandha menyampaikan dalam sidang parlemen Agama-agama se-Dunia pada tanggal 11 September 1893 menyebutkan bahwa Cinta kasih adalah daya penggerak, karena cinta kasih selalu menempatkan dirinya sebagai pemberi bukan penerima. Yang patut di ketahui bahwa Tuhan adalah yang Maha welas asih. Jika kita dengan penuh kesadaran cinta dan kasih kepada Tuhan maka kebenaran (sathya) yaitu kemahakuasaan Tuhan akan datang karena daya penggerak atau cinta kasihNya. Jadi dari uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa Cinta Kasih adalah Perasaan rindu, sayang yang patut untuk dibina dengan penuh kesadaran tanpa keterikatan.
Seperti dalam Bhagavad Gita XII. 13, disebutkan tentang orang yang telah memahami dan mengaplikasikan cinta kasih :
Advesta sarva-bhutanam, Maitrah karuna eva ca
Nirmamo niraham karah, Sama dukha-sukhah ksami
Artinya
Dia yang tidak membenci segala mahluk, Bersahabat dan cinta kasih
Bebas dari keakuan dan keangkuhan,Sama dalam duka dan suka,pemberi maaf

Sedangkan Kasih sayang adalah perasaan yang lahir dari cinta kasih dan diberikan dengan penuh kesadaran tanpa keterikatan
Kapan Semua itu akan lahir ?
Ada lima aspek kepribadian manusia, yaitu (1) Intelek atau kecerdasan, memungkinkan manusia menganalisa dan menentukan apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang palsu dan mana yang sejati, (2) Fisik, semua mahluk terbentuk dari unsur fisik yang sama. Fisik sebagai aspek kepribadian yang dimaksud di sini adalah pengembangan kebiasaan memimpin dan mengendalikan hasrat. Kesanggupan menolong, kecakapan sosial, kemampuan etika, semuanya terkait dengan jasmani yang berhubungan dengan nilai kebajikan dan tindakan yang baik, (3) Emosi, tingkat emosi menggambarkan penggunaan panca indera secara benar. Emosi hendaknya dipahami dan dikendalikan agar menjadi alat yang berguna bagi kesejahteraan hidup individu dan masyarakat. Bila seseorang mengalami keseimbangan emosi maka ia memperoleh kedamaian, (4) Psikis atau kejiwaan adalah aspek kepribadian manusia yang paling sulit dilukiskan, karena merupakan kualitas diri kita yang menjadi sumber kasih. Kasih bukanlah emosi. Kasih adalah energi yang memancar dari diri kita kepada orang lain atau makhluk di sekitar kita. Kasih tidak berkaitan dengan emosi. Kasih adalah nilai kemanusian yang mulia dalam hidup, (5) Spiritual, dalam spiritualitas, seseorang menghayati kesatuan yang mendasar dan kemanunggalan segala ciptaan. Kita mempunyai hubungan langsung dengan segala sesuatu di alam semesta ini : udara, air, api, tanah, angkasa, dan kombinasi semuanya itu. Bila kita menyadari kenyataan dasar ini, hasilnya ialah nilai tanpa kekerasan. Dari semua inilah lahirnya cinta kasih dan kasih sayang.
Bagaimana hal tersebut (Cinta kasih dan kasih sayang) dikorelasikan dengan fenomena (kejadian) saat ini ?
Semua agama yang ada mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berpikir, berucap dan berbuat yang baik dan benar, tidak ada satu agama apapun yang mengajarkan kekerasan, kebencian dan kemunafikan. Setiap agama pada dasarnya mengajarkan prinsip-prinsip kebenaran (Sathya), kebajikan (Dharma), kedamaian (Santih), kasih sayang (Prema) dan tanpa kekerasan (Ahimsa) dengan tujuan agar umatnya mendapatkan kebahagiaan baik sebagai mahluk individu maupun sosial, jasmani dan rohani.
Melihat kondisi kehidupan berbangsa – bernegara sekarang ini, sungguh kita semua merasa prihatin. Banyak diantara kita, saudara-saudari kita yang menjalani hidup dalam keresahan, kegelisahan dan dihantui kecemasan serta suasana yang tidak menentu. Apakah penyebab semua ini ? Penyebabnya adalah kekuasaan, nafsu – keinginan yang tiada batasnya, sifat mementingkan diri sendiri, kemarahan dan kebencian, dan keserakahan. Kitab suci agama-agama menyatakan, bahwa “Nafsu-keinginan, kebencian-kemarahan, ketamakan-keserakahan, kebingungan, kemabukan- narkoba, dan irihati, “ adalah musuh utama setiap manusia yang harus dilenyapkan, karena dapat membawa dan menjerumuskan kita ke neraka. Tidakkah keenam sifat itu yang telah menyebabkan hancur dan terpuruknya keadaan bangsa dan Negara kita ?. Jadi musuh itu tidak ada di luar diri kita tapi ada dalam diri manusia, inilah yang harus di renungkan secara mendalam untuk meraih kedamaian ! Atas dasar suatu kedamaian pula lahir sebuah organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang juga membawa misi kedamaian untuk dunia. Munkinkah misi itu akan tercapai ? Tidak !… Apabila masing-masing Negara di dunia ini belum bisa mewujudkan kedamaian di negaranya masing-masing. Bisakah suatu Negara bisa mewujudkan kedamaian ? Tidak pula ! …apabila tiap-tiap satuan masyarakat atau golongan tidak terwujud suatu kedamaian. Bisakah suatu masyarakat tersebut mewujudkan kedamaian ? Jawabannyapun tidak ! …apabila dalam satuan masyarakat kecil yaitu keluarga belum bisa mewujudkan kedamaian. Mampukah suatu keluarga mendapatkan kedamaian ? Tidak ! …apabila anggota keluarga yaitu individu-individu belum bisa mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri. Jadi untuk mencapai misi tersebut yaitu kedamaian dimulai dari individu-individu yang dilandasi cinta kasih dan kasih sayang yang menjadi nafas dalam kehidupan ini agar kita mampu untuk melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara.

Kesimpulan
Dari uraian di atas saya menarik kesimpulan bahwa makna cinta kasih dan kasih sayang itu ternyata amat luas bukan saja hanya perasaan suka antara sepasang kekasih tetapi juga perasaan welas asih, antara saudara, teman, dan antar sesama mahluk ciptaan Tuhan. Saya yakin dunia ini akan terasa indah dan damai jika seluruh umat manusia mempunyai perasaan cinta kasih, kasih sayang dan menyadari bahwa sesungguhnya kita semua adalah bersaudara, seperti apa yang diisyaratkan oleh Veda, yaitu: “Vasudaiva kutumbhakam” artinya: sesungguhnya semua manusia adalah bersaudara, dan “Vishva virat svaruupa”, artinya: sesungguhnya seluruh ciptaan ini adalah perwujudan Hyang Widhi. Dari sloka di atas tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk saling membenci dan tidak menghargai mahluk ciptaan Tuhan. Untuk itu mari kita bersama-sama menumbuhkan cinta kasih dan kasih sayang pada diri kita masing-masing dalam rangka meraih santih (kedamaian).

“Om Santih, Santih, Santih Om”.

Kamis, 10 Februari 2011

bedug baduda: Cara Bodoh Menyelamatkan Teman

bedug baduda: Cara Bodoh Menyelamatkan Teman

bedug baduda: Melatih Diri Menjadi Lebih Sabar

bedug baduda: Melatih Diri Menjadi Lebih Sabar

Melatih Diri Menjadi Lebih Sabar

Peradaban modern melatih dan membuat kita selalu berkompetisi untuk menjadi lebih cepat. Apapun yang dilakukan dengan lebih cepat dan jika menghasilkan kesuksesan, akan menjadikan diri kita mendapatkan decak kagum dari orang lain. Yah begitulah tuntutan jaman modern yang serba cepat dan harus terburu-buru, sampai sampai kita tidak bisa melihat apa yang telah kita perbuat sampai detik ini. Bagi kita yang baru memulai karir baru di suatu perusahan, karena tuntutan kompetisi sudah harus memikirkan bagaimana memikirkan posisi atasan dalam 2 atau tiga tahun lagi. Bagi teman kita yang baru berumah tangga sudah harus memikirkan bagaimana cepat cepat punya anak atau bagi saudara kita yang baru menjadi pedagang, harus buru-buru mencari usaha baru yang lebih menguntungkan.
Tidak ada yang salah memang dengan kompetisi yang sangat cepat ini, hanya saja kalau kita larut didalamnya, kita akan mendapatkan diri kita berjalan sangat jauh, dan tidak bisa lagi mengingat makna dari tahapan yang kita lalui. Proses yang kita lalui akan menjadi gersang, dan kehilangan makna serta akan hilang dengan berjalannya fungsi waktu. Inilah apa yang disebutkan oleh orang tua perjalanan yang terburu-buru. Melihat makna dari langkah demi langkah yang kita jalani memerlukan sikap yang lebih sabar.
Tidak mudah menjadi sabar kalau kita tidak tahu apa yang harus kita sadari.Dalam Agama Hindu, sikap sabar dijabarkan begitu luhurnya dalam ajaran Panca Yama Brata. Sikap sabar hendaknya menjadi landasan spiritual didalam memandang masalah yang dihadapi. Orang yang sabar lebih banyak mendapatkan berkah dari yang tidak sabar. Tutur katanya akan dijaga dengan intonasi yang enak didengar. Ucapannya akan mengalir dalam wacika yang tidak mungkin akan menyakiti orang lain. Inilah yang akan membuat mereka yang sabar menjadi orang yang mulia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widi, menyucikan sang Atman dalam diri dan diterima oleh orang lain karena ketulusannya.
Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk menjadi orang yang sabar dan bersyukur, tidak dengan ucapan ucapan yang mubazir, tetapi melalui praktek praktek spiritual yang melatih Panca Karmendria dan Panca Budindria menjadi seorang yang satwika. Inilah ajaran Hindu Diet Code yang sangat dikagumi.
Kalau kita telusuri lebih jauh, banyak faktor yang mempengaruhi kita menjadi orang yang tidak sabar. Karma Wasana kita masa lalu, Pengetahuan kita tentang tatwa, minimnya pratek spiritual dan Keterikatan kita yang sangat besar adalah beberapa hal diantaranya.
Karma wasana kita di masa lalu sangat menentukan pola kebribadian yang kita miliki. Orang yang berasal dari kelahiran utama akan terpatri dalam dirinya awidya yang sangat sedikit sehingga melahirkan pola kepribadian yang lebih sabar. Akan tetapi bagi kita yang mungkin berasal bukan dari kelahiran utama, mungkin akan terpatri sikap sikap yang menonjolkan Rajas atau Tamas. Ajaran Hindu yang sangat luhur menganjurkan agar kita tidak perlu mempermasalahkan dari mana kelahiran kita, yang lebih diutamakan adalah bagaimana melatih pola kepribadian kita menjadi lebih satwika. Disinilah melatih lidah dan pikiran dengan Sadana dan Kirtan sangat dianjurkan. Semakin sering kita menyebut samaranam Tuhan, semakin lembutlah hati, pikiran dan ucapan kita serta awidya dalam diripun akan menipis.
Pengetahauan kita tentang tatwa dan susila yang sangat minim adalah masalah kedua kenapa kita menjadi orang yang tidak sabar. Mungkin sebagian besar dari kita menganggap ini adalah pernyatan klise, akan tetapi pengalaman empiris di keseharian menunjukkan saudara saudara kita yang berjalan di dunia spiritual Hindu mempunyai kesabaran yang sangat mengagumkan. Tingkatan jnana kita dan praktek spiritual kita yang membedakan tingkatan kesabaran kita. Kalau kita tidak pernah menyadari di tingkat mana kecerdasan spiritual kita, maka selamanya kita akan menjadi orang yang kerdil. Kerdil dalam arti kebijaksanaan kita dalam menyelesaikan masalah sangat rendah. Tidak sedikit persoalan yang dihadapi harus diselesaikan dengan Hati Nurani, bukan dengan Logika yang mengedepankan benar dan salah. Kalau sudah menyangkut Hati Nurani, hanya orang yang sabar dan memiliki kecerdasan Jnana yang baiklah yang menjadi sukses. Kalau sudah begini, kapan kita akan mempelajari dan mempraktekkan jnana tentang tatwa dan Susila ?
Latihan latihan spiritual adalah faktor yang ketiga. Memliki Jnana yang sangat tinggi jika tidak dilatih dengan latihan latihan spiritual yang berkesinambungan bukannya menjadikan kita orang yang sabar dan rendah hati, akan tetapi membawa kita kedalam penonjolan kesombongan diri, dengan cirri sikap Rajas dan Tamas yang sangat kental. Kalau Rajas sudah sangat menonjol dalam sang diri, maka semua tindakan akan dilakukan atas dasar pembenaran diri. Tidak sedikit kita menjumpai anak anak muda kita memiliki Jnana yang baik tetapi larut dalam minuman keras dan sikap tamas lainnya. Oleh karena itu, melakukan praktek praktek spiritual dengan teratur, sangat dianjurkan karena akan melatih pola pikir, perkataan dan sikap yang rendah hati.
Faktor yang terakhir adalah keterikatan kita yang sangat besar akan segala hal. Seorang atasan dengan keterikatan jabatan dipundaknya cenderung menjadi orang yang lebih mudah marah dan tidak sabar. Demikian pula keterikatan seorang majikan atas pembatunya. Keterikatan yang terlalu besar kadang kadang membuat kita celaka karena semua dilakukan atas pembenaran diri. Oleh karena itu, Githa mengajak kita untuk melepaskan segala bentuk keterikatan agar kita menjadi orang yang rendah hati dan sabar. Menjadi orang yang bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dalam kejernihan sang Atman, “Sama dukha dukha diram, moksartham ca iti darma”.
Dengan menyadari faktor faktor ini, Hindu mengajarkan tidak mudah melatih diri menjadi orang yang sabar. Diperlukan kejujuran, sikap mental dan semangat untuk berubah. Namun, ada satu hal yang sering disampaikan oleh para spiritual Hindu agar kita menjadi lebih Sabar. Mulalah dari pengendalian Lidah. Berilah lidah makanan yang banyak mengandung unsur Satvika. Latihlah bagian tubuh kita yang paling penting ini dengan mengucapkan nama nama Beliau setiap saat. Dengan memulai dua hal ini secara terus menerus dan konsisten, niscaya awidya dalam angga sarira menipis, dan kita menjadi orang yang rendah hati, lemah lembut, sabar serta mulia dihadapan Hyang Widhi dan sesama manusia.

Apakah Itu Cinta?

oleh: I Made Diarsana, 05 pebruari 2011
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, untuk lebih memahami makna cinta, kita mestinya bisa bercermin kepada reaksi dan keadaan yang ada di sekitar kita. Lihatlah bunga mawar, mungkinkah bunga mawar itu mengatakan: “Saya akan memberikan keharumanku hanya kepada orang yang berhati baik dan tidak kepada orang yang berhati jahat" ?. Dapatkan kita membayangkan sebuah lampu menolak bersinar karena akan dipakai oleh orang jahat ?. Lampu dapat melakukannya hanya kalau ia berhenti menjadi lampu. Lihatlah sebatang pohon tanpa pilih kasih memberikan tempat berteduh bagi setiap orang, baik dan buruk muda dan tua, tinggi dan rendah, kepada binatang, manusia,dan setiap makhluk hidup, bahkan kepada orang yang siap siap menebangnya. Jadi inilah sifat pertama dari CINTA yaitu tidak membeda-bedakan.
Sifat CINTA yang kedua adalah cuma-cuma atau tanpa pamrih. Seperti pohon, mawar dan lampu, cinta itu memberi dan tak meminta balas jasa. Betapa kita memandang rendah kepada pria yang memiliki istri bukan berdasarkan sifat yang dimiliki calon istri, melainkan jumlah uang yang dibawa sebagai mas kawinnya. Pria semacam itu hanya mencari keuntungan finansial yang dibawa wanita itu, bukan mencintai wanitanya.
Apakah cinta Anda berbeda bila Anda sendiri mencari teman yang memberikan kepuasan emosional dan menghindari yang tidak, bila kita bersifat baik kepada orang orang yang memenuhi keinginan dan harapan-harapan kita dan bersikap negatif dan tidak acuh terhadap mereka yang tidak? Dalam hal ini hanya ada satu yang kita perbuat untuk mencapai cinta yang tanpa pamrih itu, yaitu dengan jalan membuka mata dan melihat. Cukup melihat saja, menyingkapkan apa sesungguhnya yang selama ini kita sebut cinta. Apakah hanya sebagai kamuflase atas egoisme dan keserakahan kita saja?. Dengan melihat, kita mengambil langkah besar ke dalam Cinta yang tanpa pamrih.
Sifat CINTA yang ketiga adalah ketidak-sadaran diri. Cinta begitu membahagiakan, dengan mencintai, orang tidak sadar akan dirinya. Seperti lampu yang senantiasa bersinar tanpa perduli bermanfaat atau tidak. Seperti bunga mawar yang menebarkan keharumannya begitu saja tanpa peduli ada atau tidak orang yang mencium keharumannya. Seperti pohon yang memberikan keteduhan.
Cahaya, keharuman, dan keteduhan ada bukan karena ada manusia atau mati bila tidak ada manusia. Mereka ini, seperti juga cinta, lepas dari manusia. Cinta begitu saja ada, tanpa perlu memiliki obyek. Merekapun begitu saja ada, terlepas apakah mereka menguntungkan seseorang atau tidak. Jadi mereka tidak mempunyai kesadaran akan mendapatkan nilai atau berbuat baik. 
Sifat terakhir dari CINTA adalah bebas. Saat paksaan, kendali, atau konflik muncul, cinta bisa mati. Pikirkan bagaimana pohon, mawar, dan lampu membiarkan kita sungguh-sungguh bebas. Pohon tidak akan berusaha menarik kita ke dekatnya untuk berteduh, biarpun kita berada di terik matahari. Lampu tidak akan memaksakan cahayanya biarpun kita sedang terseok-seok dalam kegelapan.
Pikirkan sejenak saat-saat ketika kita menyerah pada paksaan dan kendali orang lain, karena ingin bertindak sesuai dengan harapan mereka dalam usaha membeli cinta dan penerimaan dari mereka, atau karena kita takut kehilangan mereka. Setiap kali kita menyerah pada kendali dan paksaan, kita akan merusak kemampuan kodrati kita untuk mencintai, karena kita hanya dapat melakukan apa yang orang lain – dengan seijin kita – lakukan terhadap diri kita. Oleh karena itu renungkanlah semua kendali dan paksaan dalam hidup kita. Kiranya perenungan itu sendiri akan menghancurkan kendali dan paksaan. Saat paksaan dan kendali itu hilang, kebebasan akan muncul. Kebebasan adalah kata lain untuk CINTA. 
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Cara Bodoh Menyelamatkan Teman

Secara umum , selamat berarti lepas atau bebas dari kesulitan, kesusahan, mara-bahaya, penderitaan atau kesengsaraan yang dapat menyebabkan kematian. Tetapi selamat yang sesungguhnya berarti mukti, bebas atau lepas dari kehidupan material dunia fana yang menyengsarakan . Dan mukti ini hanya bisa dicapai apabila seseorang menyibukan diri dalam pelayanan bhakti kepada Tuhan Krisna. Beliau berkata,
” Mam dhyayante upasate tesam aham samudharta mrtyu-samsara sagarat, bagi dia yang selalu ingat padaKu dan memujaku, saya bebaskan dia dari samudra derita kelahiran-kematian kehidupan material dunia fana” (Bg.12.6-7)
Tetapi orang-orang yang disebut para jiva-bhuta kerkesadaran materialistik, mengerti selamat sebagai bebas atau lepas dari kemiskinan yaitu ketidakmapuan hidup mewah memuaskan indria jasmani yang kotor nafsu secara melimpah. Karena itu , menurut mereka menyelamatkan orang berarti membuat hidupnya senang dalam kemewahan material dunia fana.
Pendapat keliru dan sesat ini ditunjukan oleh kenyataan bahwa meskipun mereka sudah kaya raya dan hidup melimpah, namun mereka tidak pernah puas. Mereka terus bekerja keras mengumpulkan harta kekayaan karena hatinya dijangkiti penyakit serakah, sehingga mereka tidak pernah hidup tenang dan damai. Dengan kata lain, mereka tetap sengsara dan menderita.
Begitulah, menganggap kekayaan material sebagai alat penyelamat dari derita kehidupan fana adalah kebodohan belaka. Tetapi kebodohan yang amat nyata ini tidak disadari oleh orang-orang modern Kali-yuga yang menyatakan dirinya amat terpelajar dan paling beradab.
Begitulah, menganggap kekayaan material sebagai alat penyelamat dari derita kehidupan fana adalah kebodohan belaka. Tetapi kebodohan yang amat nyata ini tidak disadari oleh orang-orang modern Kali-yuga yang menyatakan dirinya amat terpelajar dan paling beradab.
Manusia yang berhakekat spritual sebagai jiva rohani nan abadi, tidak bisa dipuaskan dengan cara dan upaya material apapun. Ia akan puas dan bahagia hanya jikalau kembali tinggal di rumahnya asli yaitu alam kesuka-citaan rohani Vaikunta-loka, seperti halnya sang ikan tidak dipuaskan dengan cara apapun di darat. Sang ikan hanya akan puas dan bahagia jikalau ia dikembalikan ke tempat tinggalnya ayang asli yaitu air di sungai atau danau.
Karena itu menyelamatkan manusia dari derita kehidupan dunia fana dengan kekayaan material pada hakekatnya adalah menyelamatkan sang ikan dengan memberinya beraneka macam makanan di darat.
Kenyataan ini diungkapkan oleh cerita metaporik berikut:
Tersebutlah seekor Monyet yang bersahabat dengan se-ekor Ikan gabus. Sang monyet tinggal disatu telaga yang ada dibawah pohon tersebut. Mereka menikmati kehidupan masing-masing dalam kedamaian.
AkhirnSetaiap hari, setelah selesai dengan kegiatan mencari makan dan perut telah kenyang, mereka berdua berbincang-bincang tentang kehidupandi hutan dan kehidupan di air sambil bercanda ria. Sang minyet telah sepakat dengan si Ikan bahwa mereka akan saling bantu bilaman salah satu dari mereka menemui kesusahan dalam kehidupnya.

Pada suatu hari, hujan deras mengguyur wilayah hutan disana, sehingga terjadilah banjir. Air sungai terdekat meluap dan mnegenangi kedua tepinya. Si monyet berlindung dibawah dauan-daun rimbun di puncak pohon, melihat air dimana-mana. Ia tidak bisa membedakan mana sungai dan mana telaga. Sementara itu, air yang membanjir menghanjutkan banyak pohon kayu.
Sang monyet cemas. Ia takut kehilangan sahabat karibnya si Ikan gabus. Ia berdoa agar si Ikan tidak dihanyutkan oleh banjir.
 Sang ikan memegang tangan si Monyet dengan giginya, dan seketika itu juga Monyet mengangkatnya dari dalam air, lalu menaruhnya diatas dahan diantara ranting-ranting yang ia telah jalin rapat dan rapi.
 ”Nah tinggal disini bersamaku”, kata si Monyet sambil menyodorkan banyak cacing dan ulat kepada sang ikan. Si Ikan hanya mengglepar-glepar menderita dan berteriak , ”Kawan aku susah bernafas, kembalikan aku segera ke air”.
Si Monyet bodoh menjawab, ”Aku takut kehilangan sahabat seperti dirimu. Aku sangat mencintaimu. Kembalilah nanti ke air setelah banjir surut. Bukankah telah kusediakan banyak makanan untukmu? Nikmatilah makanan ini!”
”Aku tidak bisa makan karena semakin susah bernafas. Tolong kembalikan aku segera ke air”, sang ikan terus protes. Tetapi si monyet tidak perduli pada penderitaan si Ikan. Sebab ia pikir dirinya telah berbuat yang benar dan mulia yakni menyelamatkan teman karib dari bencana banjir.
Demikianlah karena kebodohan, si Monyet menemukan sang Ikan keesokan harinya sudah kaku tidak bernyawa ketika hendak dikembalikan ke dalam air.

Jumat, 04 Februari 2011

Bali Baduda

aku hanyalah sebuah batu kecil di antara ribuan batu besar
cintalah modalq untuk bisa hidup lebih lama dengan penuh kasih cayang
orang yang q cayank.............................
jangan lihat dari penampilanq saja,,,,
tapi hatinya donkkkkkkk.,...................................
biasa,,, lagi belajar adjha,,,,